Indahnya Menikah Tanpa “Pacaran”

Mungkin, sebagian besar dari kita akan berpikir, bagaimana mungkin kita akan menikah dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya? Kita tidak tahu bagaimana sesungguhnya ia, selain hanya profil singkat yang tertulis di selembar kertas berikut foto close-up yang diberikan kepada pimpinan untuk dita’arufkan.

Lalu dari profil berikut foto tersebut kita dipertemukan secara langsung dengannya bersama pimpinan, guru ngaji, atau orang tua. Tak banyak obrolan yang bisa diobrolkan dalam ta’aruf tersebut. Obrolan hanya berlangsung beberapa menit saja, dan setelah itu sang pimpinan meminta kepada yang dita’arufkan untuk memberikan jawabannya dalam tempo waktu yang amat singkat, satu atau dua minggu saja.

Tentu, dalam mencari pasangan hidup tidak semua orang akan mau diatur dengan aturan seperti ini. Cara seperti ini dinilai kurang bisa mendekatkan antar calon pasangan yang seharusnya saling mengenal satu sama lain sebelum menapak ke gerbang pernikahan. Mereka berpendapat, dengan saling mengenal satu sama lain inilah diharapkan segala problema yang terjadi saat menikah nanti dapat dilampaui dengan baik karena keduanya sudah tahu sifat dan karakternya masing-masing.

Karena alasan inilah, banyak dari kita memilih untuk melirik budaya pacaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat bebas. Memang, tidak semua mutlak meniru gaya pacaran mereka: kencan di malam minggu, bergandengan tangan, berpelukan dan sebagainya. Gaya pacaran hanya sebatas via sms, FB atau mungkin hanya telpon-telponan saja tanpa pernah ketemuan kecuali bertemu secara tidak sengaja (atau mungkin malah disengaja) dalam acara-acara semisal pengajian, seminar dan sebagainya. Alasan mereka hanyalah untuk lebih mengenal saja, agar nantinya ketika sudah mantap berumah tangga si calon pasangan sudah tahu siapa dan bagaimana calon pasangannya.

Malu adalah Identitas Muslim

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. Kami berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami malu, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. Rasulullah SAW bersabda, “Bukan begitu, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu itu ialah kamu menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, kamu menjaga perut dengan segala isinya, dan hendaklah kamu mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa menghendaki akhirat dengan meninggalkan kemewahan dunia, orang yang berbuat demikian, maka ia telah malu yakni kepada Allah dengan sebenar-benar malu”. [HR Tirmidzi juz 4, hal. 53, no. 2575]

Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah antara yang hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana nafsu lebih mendominasi tanpa akal.

Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.

Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.

Sombong


Sombong adalah sifat yang sangat dikutuk oleh Allah, hingga Nabi Muhammad SAW bersabda :

“Dari Abdullah bin Salam RA bahwasanya ia pernah berjalan di pasar dengan membawa seikat kayu bakar. Lalu ada orang bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau berbuat demikian, padahal Allah telah mencukupkan kamu dari semua ini ?”. Ia menjawab: Saya ingin menghilangkan kesombongan, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji sawi dari sombong”. (HR. Thabarani dengan sanad Hasan, dalam Targhib wat Tarhib)

Oleh karena itu seharusnya setiap orang mu’min harus berusaha sungguh-sungguh menjauhi sifat sombong dari dirinya.

Adapun pengertian sombong menurut sabda Rasulullah SAW adalah, “Al-Kibru bathorul haqqi wa ghomtun naas”. (Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain). Biasanya beberapa hal yang bisa menyebabkan kesombongan seseoranng antara lain karena kekayaan, karena pendidikan, karena asal-usul, dan masih banyak lagi.

Orang kaya biasanya merasa dirinya lebih mulia daripada orang miskin. Orang yang berpendidikan tinggi merasa lebih mulia daripada orang yang berpendidikan rendah. Demikian pula seorang pejabat merasa dirinya lebih mulia daripada rakyat biasa. Bahkan sampai anak-anaknya pun terbawa perasaan yang demikian itu. Lebih celaka lagi, membanggakan asal-usul/keturunan. Perasan ini bisa menjadikan penyebab kekafiran sebagaimana iblis, dia menjadi kufur, tidak mau sujud kepada Adam.

QUR'BAN



1. Pengertian Qurban

Qurban menurut agama yaitu, "Usaha pendekatan diri dari seorang hamba kepada Penciptanya dengan jalan menyembelih binatang ternak dan dilaksanakan dengan tuntunan, dalam rangka mencari ridla-Nya".

Firman Allah SWT:

لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلاَ دِمَآؤُهَا وَلكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوى مِنْكُمْ، كَذلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبّرُوا اللهَ عَلى مَا هَديكُمْ، وَ بَشّرِ اْلمُحْسِنِيْنَ. الحج:37

Daging-daging unta itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah dan tidak (pula) darahnya, tetapi taqwa dari pada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” [QS. Al-Hajj : 37]

2. Hukum dan keutamaan Qurban

Menyembelih qurban pada hari raya 'Iedul Adlha dan hari Tasyriq (tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) ini, hukumnya adalah Sunnah Muakkadah. Adapun tentang keutamaan qurban, banyak diterangkan di dalam haditshadits dla’if, antara lain hadits-hadits tersebut sebagai berikut :